mengenal hidup
Mengenal Hidup - Mengalahkan Aku
Mengalahkan “AKU”
“AKU” itu begitu kuatnya, karena selain sudah jadi bawaan kita masing masing sejak lahir, dalam pertumbuhan kita, sengaja atau tidak, “AKU”-lah yang selalu kita kembangkan.
Makin bertambah umur kita, makin kuat pula “AKU” kita, kalau selama itu kita tidak berusaha sungguh sungguh mengalahkannya.
Kita kenal, bahwa orang tua makin susah dimengerti, makin susah diajak kompromi, kalau sudah begini maunya ya harus begini, dan seterusnnya. Itu karena “AKU”-nya sudah terlanjur kokoh-kuat berakar.
Maka, tidaklah cukup kalau mau mengalahkan “AKU” hanya dengan tekad. Karena yang punya tekad itu juga “AKU”.
Mengalahkan “AKU” harus dengan Laku. Dan masih harus dibantu dengan cara, dengan sarana Gaib.
Laku membersihkan Raga (Laku pangumbahing Rogo)
Laku membersihkan Raga ini, pada hakekatnya merupakan upaya mengalahkan “AKU”.
Membersihkan Raga bukan dengan mandi 10 kali sehari, tetapi dengan Laku.
Laku itu adalah :
1) Sabar;
2) Narimo;
3) Ngalah;
4) Tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae;
5) Ikhlas
Penjelasannya :
Ad.1. Sabar
Sabar, bukan asal tidak marah.
Memaksakan sesuatu sebelum waktunya, juga termasuk tidak sabar.
Contoh Sabar yang baik adalah seorang ibu yang mengandung. Dengan penuh rasa cinta kasih, dia pelihara kandungannya, sampai cukup bulannya. Tak seorang ibupun ingin anaknya lahir sebelum waktunya.
Sabar, harus benar benar terasa sampai sedalam-dalamnya. Berpura-pura sabar, padahal di dalam dirinya marah bergejolak, tidak benar dalam laku ini. Ini yang dinamakan Laku Pura-pura suci. “Laku semuci-suci.” Misalnya karena usia, atau kedudukan, sehingga dirinya dituakan. Lalu sekalipun sebenarnya marah, tetap tersenyum. Hal ini baik kalau untuk seorang diplomat. Tetapi tidak benar dalam menjalani laku ini.
Orang Sabar, dalam segala hal berpedoman, step by step slow but sure, biar lambat asal selamat, alon-alon waton kelakon (kanti becik lan bener).
Penyakit penyakit seperti Hypertensi (tekanan darah tinggi), neurosis (gangguan keseimbangan emosi), insomnia (tidak bisa tidur) dan semacamnya, akan jauh.
Ad. 2. Narimo
Istilah narimo, sering disalah artikan.
Narimo yang sebenarnya, adalah sifat manusia yang dalam segala hal, berusaha semaksimal mungkin (atau seoptimal mungkin), tetapi sejak awalnya selalu menyadari dan selalu siap bahwa Tuhanlah yang menentukan. (Man purposes, God disposes).
Kekecewaan demi kekecewaan yang bisa berakibat (strain), jarang menghinggapi orang yang “narimo”.
Ad. 3. Ngalah
Hanya orang yang menang yang bisa mengalah.
Mengalah yang sebenarnya, adalah kalau kita sampai merasakan senang atau bahagia.
Misalnya, seorang ayah yang punya anak berumur 4 tahun. Sehabis melihat tinju di televisi, lalu mengajak bertinju ayahnya, di tempat tidur. Sang ayah mengalah, pura pura knock out. Anaknya senang, dan berlagak menjadi juara. Tentu saja, ayahnya yang mengalah itu merasa senang dan bahagia.
Sering kita alami, menghadapi seseorang yang ngotot ingin menang, karena pengetahuan dan pengalamannya yang masih dangkal. Kita mengalah, karena menganggap menghadapi kanak kanak. Kalau kita memang menyayangi orang itu, kita merasa senang melihat dia puas.
Ad. 4. Tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae.
(Cinta, kasih dan sayang kepada apa dan siapa saja).
Jadi kita selalu berusaha mencintai dan mengasihi apapun yang ada, dan siapapun yang kita hadapi. Mencintai apa saja, maksudnya mencintai benda, mencintai pekerjaan, mencintai binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Mencintai siapa saja, adalah mencintai sesama manusia, tanpa pilih pilih. Menghadapi siapapun, kita landasi rasa cinta pada diri kita.
Gambaran tentang ini.
Romo Herucokro Semono, suatu saat ditanya. “Kalau lakunya Putro diumpamakan anak sekolah, apa tandanya kelasnya sudah tinggi?”
Jawaban beliau : “Tandanya Putro lakunya sudah jauh, kalau jangankan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sekalipun, semua mencintai kamu, karena kamu senantiasa menanam cinta kasih”.
(“Tandane Putro lakune wis adoh, lamun ojo maneh kang asipat jalmo manungso, kewan tetuwuhan pisan podo tresno marang jeneng siro, amargo siro tansah nandhur katresnan”).
Ad. 2. Narimo
Istilah narimo, sering disalah artikan.
Narimo yang sebenarnya, adalah sifat manusia yang dalam segala hal, berusaha semaksimal mungkin (atau seoptimal mungkin), tetapi sejak awalnya selalu menyadari dan selalu siap bahwa Tuhanlah yang menentukan. (Man purposes, God disposes).
Kekecewaan demi kekecewaan yang bisa berakibat (strain), jarang menghinggapi orang yang “narimo”.
Ad. 3. Ngalah
Hanya orang yang menang yang bisa mengalah.
Mengalah yang sebenarnya, adalah kalau kita sampai merasakan senang atau bahagia.
Misalnya, seorang ayah yang punya anak berumur 4 tahun. Sehabis melihat tinju di televisi, lalu mengajak bertinju ayahnya, di tempat tidur. Sang ayah mengalah, pura pura knock out. Anaknya senang, dan berlagak menjadi juara. Tentu saja, ayahnya yang mengalah itu merasa senang dan bahagia.
Sering kita alami, menghadapi seseorang yang ngotot ingin menang, karena pengetahuan dan pengalamannya yang masih dangkal. Kita mengalah, karena menganggap menghadapi kanak kanak. Kalau kita memang menyayangi orang itu, kita merasa senang melihat dia puas.
Ad. 4. Tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae.
(Cinta, kasih dan sayang kepada apa dan siapa saja).
Jadi kita selalu berusaha mencintai dan mengasihi apapun yang ada, dan siapapun yang kita hadapi. Mencintai apa saja, maksudnya mencintai benda, mencintai pekerjaan, mencintai binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Mencintai siapa saja, adalah mencintai sesama manusia, tanpa pilih pilih. Menghadapi siapapun, kita landasi rasa cinta pada diri kita.
Gambaran tentang ini.
Romo Herucokro Semono, suatu saat ditanya. “Kalau lakunya Putro diumpamakan anak sekolah, apa tandanya kelasnya sudah tinggi?”
Jawaban beliau : “Tandanya Putro lakunya sudah jauh, kalau jangankan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sekalipun, semua mencintai kamu, karena kamu senantiasa menanam cinta kasih”.
(“Tandane Putro lakune wis adoh, lamun ojo maneh kang asipat jalmo manungso, kewan tetuwuhan pisan podo tresno marang jeneng siro, amargo siro tansah nandhur katresnan”).
Ad. 5. Ikhlas
Pada umumnya, orang mengatakan ikhlas, kalau sudah terlanjur kehilangan sendiri, memberikan sesuatu.
Dalam laku ini, yang dimaksud Laku Ikhlas, adalah :
Setiap saat, menyadari sepenuhnya, bahwa segala yang ada pada dirinya, seperti kepandaian, pengalaman, kemampuan karena kekuasaan atau kekayaan yang dimiliki, tenaga, pikiran, waktu, bahkan orang-orang yang dicintai, semuanya adalah milik Tuhan Yang Maha Esa.
Maka, setiap saat siap, apabila semua yang ada pada dirinya itu, dikehendaki Pemiliknya, Tuhan yang Maha Esa, mau digunakan untuk sesuatu.
Kehendak Tuhan itu, diketahuinya melalui Hidup yang ada pada dirinya.
Jadi, ikhlas tidak hanya kalau kehilangan atau memberi, tetapi juga ikhlas menerima apapun.
Misalnya, seseorang, oleh Presiden, diangkat menjadi Menteri Kesehatan. Dia menerimanya sebagai kehendak Tuhan, yang disampaikan melalui Presiden, bahwa dirinya dipercaya untuk menyehatkan 180 juta rakyat Indonesia. Jadi, keadaan kesehatan seluruh rakyat, harus dia pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dia harus narimo dan ikhlas menerima beban, tugas dan kewajiban itu. Sama sekali tidak memandang dari segi kekuasaan, kehormatan, penghasilan yang didapatnya. Itu tidak kekal. Tetapi kalau dia bisa menjalankan kewajibannya yang diberikan Tuhan dengan baik, berarti dia melangkah lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Ini akan lebih kekal akibat atau hasilnya.
Kalau seseorang diberi kekayaan melimpah, jauh melebihi kebutuhannya, dia harus Narimo dan Ikhlas menerima, bahwa dirinya diberi tugas yang lebih besar bagi kesejahteraan, kebahagiaan sesamanya.
Kalau seseorang diberi kepandaian lebih dari sesamanya, dia harus Narimo dan Ikhlas mendapatkan tugas memberikan kepandaiannya itu kepada sesamanya. Dan bukan untuk menguasai sesamanya.
Semua kelebihan yang diberikan itu harus digunakan dengan tepat. Hidup yang tahu, untuk apa dan siapa.
Kalau tidak, maka apabila saatnya datang, Hidupnya tidak akan bisa langsung kembali kepada Tuhan, karena masih ada beban yang tertinggal.
Sudah mampukah kita mengalahkan “AKU” ?
Belum. “AKU” begitu perkasa dan begitu dalam mengakar dalam diri kita.
Maka sesudah bisa menjalani 5 (lima) Laku pembersih raga, kita masih memerlukan bantuan Sarana Gaib, untuk mengalahkan “AKU”
Sarana Gaib IV yang anda perlukan.
S I N G K I R – Sarana Gaib IV
“Singkir” ini, gunanya untuk menipiskan “AKU” dengan segala sifatnya, termasuk angkara murka dalam diri kita sendiri.
Kata-kata “Singkir" :
Gusti Ingkang Moho Suci,
kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho Suci;
Sirolah, Dhatolah, Sipatolah;
Kulo sejatine satriyo / wanito;
Hananiro – hananingsun;
Wujudiro – wujudingsun;
Siro sirno mati dhening satriyo / wanito sejati;
Ketiban idhuku putih, sirno layu dhening (Asmo).
Pada saat-saat senggang, kalau pikiran anda sedang jernih dan tenang, berlatihlah menggunakan “Singkir” ini.
Makin lama, “AKU” di diri anda akan makin menipis.
Ini akan memudahkan anda menjalani laku, karena “AKU”-lah biasanya yang selalu menentang, melawan kehendak Hidup, kalau mau anda lakukan. “AKU” selalu tampil dengan berbagai dalih dan alasan, agar anda batal menjalankan karsanya Hidup.
Sampai dimana Laku anda sekarang :
Bangun tidur “Kunci”, mau tidur “kunci”, ada apa-apa “Kunci, tidak ada apa-apa “Kunci”.
Mau berbuat / melakukan apa saja Mijil dulu. Sesudah Mijil, selalu melaksanakan karsanya ingsun (Hidup). Kalau bertentangan dengan kehendak “AKU”, maka kehendak “Aku” yang dikalahkan.
Selalu Sabar, Narimo, Ngalah, Tresno welas asih dan Ikhlas, dibantu “Singkir” mampu menipiskan “AKU” dalam diri sendiri.
Kalau benar, sekali lagi kalau benar anda sudah demikian itu, maka besar sekali kemungkinannya anda bisa menggunakan Sarana Gaib ke-V, yaitu Paweling.
P A W E L I N G
Kata-kata Paweling :
Siji-siji, loro-loro, telu-telonono,
Siji sekti, loro dadi, telu pandito,
Siji wahayu, loro gratrahino, telu rejeki
Awas : jangan sampai anda keliru dengan “Aji Pameling” yang digunakan orang untuk berkomunikasi jarak jauh semacam telepathy.
Apabila anda memang sudah seperti yang digambarkan di depan, maka Paweling ini bisa anda gunakan dalam arti yang sebenarnya.
Paweling adalah Sarana Gaib untuk menghubungkan Hidup dalam diri anda dengan HIDUP yang meliputi (ngalimpudhi) alam semesta seisinya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Keadaan yang demikian itu, yang sesungguhnya disebut Manunggal.
Juga disebut Manunggalnya Kawulo Gusti, atau manunggalnya Putro dengan ROMO, atau Manunggalnya Hidup dengan HIDUP yang menghidupi.
(Putro adalah Hidup yang ada dalam diri kita, sedang ROMO adalah HIDUP yang meliputi, menggerakkan dan menguasai alam semesta seisinya).
Apabila anda benar bisa menggunakan Paweling, anda akan dalam keadaan Manunggal / Menyatu dengan Alam.
Keterbatasan anda sebagai manusia, lenyap (dimensi ruang dan waktu).
Anda akan mengalami berada di lebih dari satu tempat, dalam waktu bersamaan. Tetapi keberadaan anda itu bukan hanya “bayangan” anda, melainkan benar benar anda. Ditiap tempat, anda misalnya sama sama makan-minum dan berbuat seperti biasa. Disaksikan orang lain. Bahkan, anda bisa berada misalnya di 2 tempat, termasuk mobil andapun jadi dua. Hal ini beberapa kali sudah terjadi atas seseorang Penghayat laku ini, dan saksi-saksinya masih hidup.
Tentu saja, kita tidak akan mungkin terus-menerus dalam keadaan manunggal dengan Tuhan. Kita tidak akan kuat.
Maka, kalau sekali sekali diperkenankan merasakan, kita sudah mendapat anugerah yang tak ternilai. Ini berarti bahwa kita pernah menjalani “jalan kembali” kita kepada Tuhan.
Suatu kenikmatan dan kebahagiaan tertinggi yang bisa dicapai Manusia.
Apabila seseorang dalam keadaan tersebut, maka apa yang diucapkan akan terjadi. Sekalipun tidak masuk akal. Atau akal manusia tidak sampai. Meskipun pada mulanya semua orang tidak percaya dan bahkan membantah, akan terbukti bahwa ucapannya jadi kenyataan. Dan barulah orang terpaksa mengakui, sekalipun akalnya tetap tidak bisa menerima. Lalu, paling paling, disebutnya mujijat, ajaib.
BEBERAPA CATATAN SEBAGAI PENJELASAN
Laku Gelar-Gulung
Gelar artinya yang lahiriah. Gulung artinya yang spiritual, yang gaib.
Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil, lakunya Gelar-Gulung.
Artinya :
Apapun yang diterima Gulung, yaitu karsanya Hidup yang tertangkap Rasa, segera di Gelarkan, dilaksanakan.
Catatan :
Karsanya Hidup (“dawuhe Urip”), apabila diterima (di Rasa, juga disebut Roso Jati), harus segera dilaksanakan.
Kalau ditunda pelaksanaannya, kita tidak akan mendapat bukti kebenaran “dawuh” itu. Tidak akan terjadi, “dawuh” diberikan, tetapi belum waktunya (belum “titi wanci”). Hidup tidak akan memberikan “dawuh”-nya, kalau belum waktunya dilaksanakan.
Itu yang disebut “nggelarake gulung”. Maka ada rumus bagi Putro (penghayat laku ini), yaitu :
Krenteg, Budhi, Ono
(Timbul rasa, tergerak rasanya, langsung bertindak, dilaksanakan, akan ada buktinya).
Sebaliknya :
Apapun yang dialami, dihadapi, harus selalu di-Gulung. Artinya, apapun yang kita alami, kita hadapi, harus Mijil, untuk ditanyakan kepada hidup, apa sebenarnya makna dari kejadian yang kita alami atau hadapi itu.
Ini yang dinamakan “Nggulung samubarang kang sipat Gelar” (meng-Gulung yaitu mengecek ke dalam, semua yang bersifat lahiriah).
Jadinya, kita tidak gegabah menyimpulkan segala sesuatu yang kita alami, kita hadapi, karena kita tahu, makna dan maksud yang tersembunyi di balik kejadian itu. Dengan bahasa lain, kita tahu, apa yang sebenarnya menjadi kehendak Tuhan, yang diterima oleh Hidup dalam diri kita.
Sering, kita alami kejadian yang tidak mengenakkan diri kita. Setelah di Gulung, kita tahu, bahwa sebenarnya itu merupakan peringatan atau petunjuk dari Tuhan. Dan ini, hanya Hidup yang tahu. Ini sebenarnya yang disebut menemukan hikmah dari segala kejadian. Bukan dengan menghubung-hubungkan melalui pikiran kita (“ngotak-atik gatuk”).
Melatih laku kita
Arena paling baik untuk berlatih menjalani laku ini, adalah dalam keluarga kita masing masing. Kalau dalam keluarga kita sendiri, kita sudah bisa seperti digambarkan didepan, kita melatih diri di arena yang lebih luas. Misalnya di tempat kita bekerja, atau di dalam kita bermasyarakat.
Tetapi, ada arena yang sangat efektif untuk berlatih, yaitu dalam Sarasehan bersama-sama kadhang kadhang kita.
Romo Herucokro Semono :
“Nek beras sak las dhideplok, mesti ajur. Nanging nek beras sak lumpang, jenenge dhisosoh. Ora amargo soko alune utowo lumpange, nanging amargo gosok ginosok antarane las siji karo sijine, dhadhi podo mlecete, dhadhi podo putihe”.
(Kalau sebutir beras ditumbuk pasti hancur, tetapi kalau banyak, ditumbuk, bukan karena penumbuknya atau tempatnya, melainkan butir yang lain, lalu sama sama terkelupas, sama sama menjadi putih)
Jadi saling gosok (gosok-ginosok) antara sesama kadhang, akan sangat mempercepat proses laku kita.
Memang, digosok itu tidak enak, kadang kadang agak sakit, tetapi kalau kita takut tergosok, kita tidak akan pernah jadi putih (bersih).
Kebersamaan sesama penghayat Laku ini
Seorang penghayat dengan penghayat lain disebut “Kadhang”.
“Kadhang” di sini, artinya seseorang yang hubungannya melebihi saudara kandung.
Romo Herucokro Semono :
“Sedhulur sakringkel iku sing podo mung kulit-dhaginge, dhadhi bisa bosok, nek kadhang iku Uripe, dhadhi tansah rante-rinante rasane”.
(Saudara kandung itu yang sama hanya kulit-dagingnya, jadi bisa busuk, kalau kadhang itu Hidupnya, jadi seperti mata rantai, yang rasanya selalu berhubungan).
Kebersamaan para penghayatnya dinamakan “Kekadhangan”.
“Kekadhangan” ini terbentuk secara alamiah, kalau masing masing memang benar benar mengikuti Hidup.
Di depan sudah dikatakan, bahwa Hidup itu sama, sebenarnya Satu.
Maka, kalau masing masing mengikuti Hidup, akan tertarik untuk menyatu. Bukan cuma bersatu.
Menyatunya sesama Penghayat menimbulkan ke-Guyub-Rukunan yang murni. Tidak dibuat-buat; bukan karena ada pamrih, dan lebih lebih tidak karena dipaksa.
Segala perbedaan lahiriah hampir tidak nampak dan tidak terasa. Kalaupun masih ada, hanya terbatas pada sikap yang didasarkan pada etika (sopan-santun, tata-krama). Yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda.
Yang tua dihormati karena memiliki kematangan jiwa disebabkan pengalaman dan kedalaman lakunya (“temuwo”), sedang yang muda dihargai karena kelebihan kepandaian dan semangatnya untuk menimba sebanyak-banyaknya, serta kemampuannya untuk bergerak aktif, dinamis, dan kreatif.
Dalam kegiatan apapun, tanpa direncana tanpa diatur. Masing-masing mengikuti Rasanya. Gaib yang mengatur. Dan hasilnya, apa yang dilakukan para penghayat itu, saling isi-mengisi, semuanya lengkap, terpenuhi, dan hasilnyapun membuat bahagia semua orang.
Kunci, Asmo, Mijil, Singkir, Paweling itu bukan doa, bukan “rapal”, bukan mantera atau mantram.
KUNCI
Sering dikatakan, “Moco Kunci ping pitu, nanging pitu iku dhudhu etungan”. (Membaca Kunci tujuh kali, tetapi tujuh itu bukan hitungan).
Yang dimaksud :
“Membaca” Kunci, harus sampai benar-benar dirasakan, bahwa 7 (tujuh) lapis Raga, masing-masing, dan seluruhnya, menyembah kepada Hidup.
Jadi, benar-benar sampai terasa. Rasanya kalau 7 lapis Raga, seluruhnya sudah terkena dayanya Kunci, dan menyembah dalam arti pasrah kepada Hidup.
Kalau “membaca” Kunci masih bisa menghitung, berarti masih “membaca” dengan pikirannya, belum dengan Rasa. Rasa tidak pernah bisa dihitung.
Contoh :
Kita bisa menghitung buah sawo, tetapi kita tidak bisa menghitung rasanya sawo.
Banyak orang yang menggunakan Kunci, masih memperlakukannya sebagai “rapal” atau mantera. Asal kata-katanya sudah “dibaca” dalam batin.
Banyak juga yang “membaca” Kunci masih dihitung.
Sekalipun yang demikian itu juga mendapat pembuktian (paseksen), tetapi bukan itu yang sebenarnya.
Kalau “membaca” Kunci dengan Rasa maka tidak dihitung, sampai berhenti sendiri. Jangan dipikir, sampai di mana berhentinya, apalagi sudah berapa kali saat berhenti. Asal sudah berhenti, artinya 7 (tujuh) lapis Raga sudah seluruhnya menyembah dan berserah diri (pasrah) kepada kuasa dan pengayomannya Hidup.
Kalau berlatih “membaca” Kunci begini lama kelamaan kita bisa “membaca Kunci dalam waktu singkat sekali. Bahkan tanpa kata-kata (unen-unen) Kunci lagi.
Terbuktilah apa yang dikatakan Romo Herucokro Semono, bahwa “Kunci” iku dhudhu unine, dhudhu unen-unene, nanging kang mahanani uni” (Kunci itu bukan bunyinya, bukan kata-katanya, tetapi yang menyebabkan bunyi). Jadi Gaib.
Jangan terjerumus, menjadikan “membaca” Kunci sebagai Ritus (cara ritual). Rutinitas ritual, sering menjerumuskan kita pada pendangkalan penghayatan. Hanya kulitnya dan tidak rasanya.
M I J I L (sudah mencakup Asmo)
Masih banyak yang memperlakukan Mijil sebagai mantera.
Misalnya, mau pergi, Mijil dulu. Asal sudah mengucapkan kata-katanya Mijil, langsung pergi.
Padahal, maksudnya Mijil, agar seseorang, sebelum berbuat sesuatu, mendapat Petunjuknya Hidup.
Boleh atau tidak. Kalau bolehpun, akan mendapat petunjuk, apa, berapa, bagaimana, selanjutnya.
Contoh :
Kita mau pergi ke suatu tempat. Kita Mijil, dan tetap “hening”, lalu mendapatkan rasa, diijinkan. Rasa juga memberi petunjuk, agar lewat jalan tertentu. Barulah kita pergi.
Seseorang minta bantuan kita, sedang kita memang mampu dan bisa memberikan bantuan itu. Misalnya berupa uang.
Kita Mijil. Akan kita terima di rasa, boleh atau tidak. Kalau tidak, mungkin saja karena bantuan kita itu akan dia gunakan yang tidak baik dan tidak benar. Kalau diijinkanpun, kita akan mendapat petunjuk berapa besarnya bantuan itu yang seharusnya (menurut Hidup) kita berikan.
Dengan Mijil yang benar seperti itu, tujuannya agar jangan sampai kita berbuat “luput”, berbuat salah menurut ukuran Hidup (ukuran yang paling baik dan paling benar = beciking-becik lan benering bener).
S I N G K I R
Masih banyak yang menerima wulang-wuruk Romo Herucokro Semono, yang diberikan dengan “sanepan” , kiasan, diterima mentah mentah.
Singkir digunakan untuk menghadapi bahaya angin taufan (lesus), bahaya api (kebakaran), gempa bumi (lindu) dan gunung meletus. Ini kiasan, “sanepan”.
Yang dimaksud adalah di dunia kecil, jagad cilik, micro cosmos, yaitu diri kita sendiri.
Angin taufan, adalah suara yang tidak enak didengar. Misalnya fitnah, cacian, celaan, sindiran, bahkan kritikan terhadap diri kita. Akibatnya, api berkobar dalam diri kita. Kita jadi tidak tenang, yang berarti dunia kita gempa bumi. Kalau sudah tidak tahan, mulut kita akan meledak, buruk, yang berarti gunungnya meletus.
Semua itu, disebabkan karena “AKU” dalam diri kita yang bekerja (makarti). Jadi itu kelakuan Sang “AKU”.
Untuk mengurangi sebanyak mungkin terjadinya angin taufan, api, gempa dan meletusnya gunung diri kita itu, diberikanlah Singkir.
PAWELING
Dua macam kesalah fahaman sering terjadi terhadap Paweling ini.
Yang pertama, memperlakukan paweling seperti Aji pameling. Digunakan untuk berhubungan dengan orang lain (kadhang) dari jarak jauh. Kalaupun bisa, sayang sekali. Itu sama dengan “Menembak burung dengan meriam. Burungnya terbang, pohonnya tumbang”.
Yang kedua, memperlakukan Paweling seperti telepon, untuk menelepon ROMO, Gusti Ingkang Moho suci , Tuhan Yang Maha Esa.
Mohon petunjuk atau “dawuh” bagi dirinya. Lalu apa yang didapat, dianggapnya sebagai “dawuh”-nya ROMO, Gusti Ingkang Moho suci.
Ini sama dengan orang yang diberi satelit komunikasi, lalu hanya digunakan untuk pacaran. Jadi kalau benar benar ada “dawuh” dari ROMO, Gusti Ingkang Moho suci, saluran kita tertutup.
Untuk mengatur, melindungi, memelihara Diri Kita (jagad-cilik, micro cosmos), bahkan untuk memberi pada diri kita, Gusti Ingkang Moho Suci memberikan kuasaNya (mandatNya) kepada Hidup yang ada dalam diri kita masing masing.
Jadi tidak perlu dan tidak ada gunanya, membawa-bawa ROMO, Gusti Ingkang Moho suci. Salah salah, petunjuk atau “dawuh”-nya Hidup (Urip), kita kira petunjuk atau “dawuh”-nya ROMO, Gusti Ingkang Moho suci.
Petunjuk atau “dawuh” dari ROMO, Gusti Ingkang Moho suci, selalu menyangkut umum, bukan diri kita pribadi. Dan selalu ada tanda tanda, misalnya juga diterima sama oleh orang lain. Petunjuk atau “dawuh” seperti ini, bisa menyangkut diri kita , bisa diri kita tidak ada sangkut-pautnya sama sekali secara Gelar (lahiriah), Dan pasti terjadi, sekalipun menurut perhitungan nalar ribuan orang tidak mungkin.
Contoh “dawuh” ROMO, Gusti Ingkang Moho suci :
Tahun 1978, seorang penghayat Kapribaden, menyatakan bahwa Komunisme di Rusia dan Eropa Timur akan hilang
Tak seorangpun, saat itu mau percaya. Dan bahkan semua menyatakan tidak mungkin. Ternyata benar benar terjadi.
Lama sebelum terjadi, seorang Penghayat Kapribaden, menyatakan bahwa Amerika dan Sekutunya akan menyerang Irak. Bantahan dengan berbagai analisa dikemukakan (analisa intelejen), yang menyatakan tidak mungkin, karena Amerika akan mempertimbangkan keikut sertaan Uni Sovyet membantu Irak.
Ternyata yang terjadi sesuai “dawuh” dan tidak sesuai dengan berbagai analisa akal pikiran.
Banyak lagi, contoh lain.
Oleh karena itu, seyogyanya jangan sembarangan menggunakan Paweling. Kalau paweling kita gunakan sembarangan, nantinya kita malah tidak bisa menggunakan Paweling yang sebenarnya, yaitu untuk manunggal-kan Urip dengan URIP, Putro dengan ROMO, Gusti Ingkang Moho suci.
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar